Pernikahan dini yang dikabulkan Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan menjadi dalih KPAI untuk mendorong revisi batas minimal usia kawin.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan pihaknya mendorong pendewasaan usia minimal perkawinan. Tujuannya demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia lewat pernikahan yang dilakukan pada usia yang matang.
"Kami mendorong usia perkawinan ditingkatkan dari sebelumnya perempuan 16 tahun menjadi 18 tahun, dan laki-laki dari 18 tahun menjadi 21 tahun," kata Retno dihubungi di Jakarta, Kamis (19/4), dilansir Antara.
Karena itu, KPAI mendukung DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Retno, usia minimal perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang itu sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.
"Sejak 1974 itu sudah lama sekali. Memang perlu direvisi. Mungkin dulu orang tua kita menikah di usia muda masih relevan. Namun, di era sekarang sudah tidak lagi relevan," tuturnya.
Retno mengatakan perkawinan anak merupakan pelanggaran hak-hak anak. Ke depan, perkawinan anak, apalagi anak dengan anak, juga kerap menimbulkan permasalahan.
"Bila anak kawin dengan anak, nanti secara ekonomi bagaimana. Perkawinan itu seharusnya bukan sekadar cinta, bukan sekadar ada teman tidur. Tujuan perkawinan lebih mulia dari itu," katanya.
Sebelumnya diketahui di bantaeng Sulawesi Selatan, sepasang kekasih berusia belia nekat menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Keduanya masih duduk di bangku kelas 2 SMP, Catin yang berusia 15 tahun 10 bulan dan pasangannya berumur 14 tahun 9 bulan. Keduanya menikah, setelah mempelai perempuan mengaku takut tidur sendiri pasca ibunya meninggal. Sementara sang ayah, kerap bertandang keluar kota.
Kendati sempat ditolak KUA, namun akhirnya mereka bisa menikah dan menjalani Bimbingan Perkawinan (Bimwin), setelah mengantongi restu di Pengadilan Agama.
Berangkat dari situlah, Retno sangat menyayangkan sikap Pengadilan Agama yang memberikan dispensasi kepada anak untuk melangsungkan pernikahan. Menurutnya, pengadilan mesti menjadi benteng terakhir untuk mencegah perkawinan anak.