Disebut banyak pasal yang bias dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.
Merespons berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Tama S Langkung memberi saran kepada lembaga antirasuah untuk diam dan tidak usah bekerja. Menurutnya, hal tersebut sebagai langkah yang tepat.
Tama menuturkan, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK, sebagian besar pasal-pasal yang tercantum di dalamnya dianggap bias. Dikhawatirkan, ketika KPK melakukan pencegahan atau penindakan, bakal mendapat banyak perlawan dari koruptor-koruptor.
“Ketika KPK mengambil tindakan, masih punya tafsiran UU, KPK nanti mendapatkan perlawanan balik. Dengan kondisi UU yang normal saja, bunyi pasal-pasal yang tidak multitafsir saja, orang seperti Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah itu mendapat perlawanan balik,” kata Tama saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (8/11).
Karena itu, Tama menganggap keberadaan transisi KPK amat penting. Tujuannya, untuk meminimalisir dampak pasal multitafsir terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.
“Dengan kondisi sekarang maka kehati-hatian menjadi penting buat KPK. Maka dari itu perlu ada transisi. Pasal transisi ini menurut saya perlu dilakukan KPK, bicara soal pencegahan, dan sebagainya,” ucap dia.