Kelebihan kapasitas penghuni di lapas jadi problem klasik yang tak kunjung diselesaikan pemerintah.
Kali pertama menghuni ruang tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Semarang pada pertengahan 2009, Bambang Sulistyo, 49 tahun, langsung merasa risi. Ditempatkan di ruang seluas sepuluh meter persegi bersama dua belas rekan tahanan lainnya, pria paruh baya itu hanya bisa pasrah.
Yang pertama dirasakan Bambang ialah pengapnya ruangan. Selain karena diisi terlalu banyak orang, sirkulasi udara di ruang tahanan juga tergolong buruk. Saban malam, ia juga harus berebut ruang dengan para tahanan lainnya supaya bisa merebahkan badan.
“Jadi, kamarnya tuh sebenarnya diperuntukkan untuk lima orang. Cuma diisi sebelas sampai dua belas orang. Tidurnya ada yang mepet sampai kamar mandi gitu. Dempet-dempetan kayak ikan pindang. Enggak bisa gerak,” kata Bambang saat dihubungi Alinea.id, Selasa (14/9).
Hal lain yang bikin Bambang risau saat tinggal di lapas yang telah berusia 28 tahun tersebut ialah kondisi instalasi listrik yang buruk. Karena tak ada colokan listrik, salah satu rekan Bambang "menyunat" fitting lampu untuk disambungkan ke kabel gulung.
Dari kabel olor, menurut Bambang, listrik kemudian dialirkan ke perabotan eletronik milik para tahanan, seperti penanak air, radio, dan pengisi baterai telepon seluler. Kabel-kabel menjulur di seluruh ruangan lapas.