Premanisme dalam aktivisme politik digital di Indonesia tercermin dari isu-isu politik utamanya di era pandemi.
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan, premanisme dalam aktivisme politik digital di Indonesia tercermin dari beberapa isu politik utamanya di era pandemi. Di mana ruang sosial bertransformasi dalam bentuk komunikasi berbasis internet.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh LP3ES, Universitas Diponegoro dan University of Amsterdam menemukan pasukan siber yang dikerahkan untuk mendukung kebijakan terkait dengan new normal dan Omnibus Law, bahkan juga Pilkada Serentak 2020.
Ironisnya, dalam platform Twitter, terjadi tweet-war yang dilakukan antara kubu pro dan kontra terkait suatu isu politik. Fenomena tweet-war ini dilakukan dengan penyampaian pesan melalui bahasa yang kasar dan vulgar, terutama terkait aktivisme digital yang dilakukan oleh para buzzer, baik dari kubu pro maupun kontra pemerintah. Lebih parah lagi, pemerintah dalam beberapa kasus justru mendukung narasi politik yang muncul dari tweet-war tersebut, sementara di kasus lainnya tweet-war dengan konteks politik dibiarkan berkembang begitu saja.
Penelitian itu juga menemukan adanya serangan siber yang muncul dari aktivisme digital di era politik Indonesia saat ini. Teror tersebut muncul dalam bentuk spam call dari nomor telepon luar negeri, peretasan akun sosial media, dan juga doxing. Kasus-kasus teror siber ini tidak terekspos di media, sehingga publik tidak menyadari adanya bahaya dari premanisme digital dalam aktivisme di era digitalisasi.
Pasukan siber yang ada dalam berbagai kasus dukungan kebijakan bermasalah, merupakan refleksi premanisme digital. Ini dengan jelas telah menunjukkan bahwa negara bukan satu-satunya agen yang memiliki monopoli terhadap kekerasan.