Negara dinilai lebih perhatikan penanganan tindak pidana terorisme dibanding pelanggaran HAM berat.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo menilai, draf Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Unit Kerja Presiden Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat masih perlu penyempurnaan dari segi definisi tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi). Sebab, tupoksi unit kerja presiden berpotensi tumpang tindih dengan LPSK yang lebih berfokus pada aktivitas pemulihan yang juga melalui mekanisme nonyudisial.
Draf Raperpres tersebut juga dinilai perlu memisahkan secara lebih tegas antara pengertian pemulihan dan rekonsiliasi. Ia pun mengingatkan wacana bembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, semestinya lebih perlu didorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar upaya yudisial dapat berjalan.
“Kita tahu Menko Polhukam sudah merintis untuk pelembagaan baru, semacam KKR. Ini yang juga perlu dipertegas, apakah rekonsiliasinya perlu segera kita dorong dan apakah untuk tim unit kerja ini lebih khusus untuk pemulihan saja,” ucapnya dalam diskusi virtual, Kamis (8/4).
Menurut Hasto, negara lebih memperhatikan penanganan tindak pidana terorisme dibandingkan pelanggaran HAM berat. Padahal, perundang-undangan secara eksplisit menyatakan, korban tindak pidana terorisme dan pelanggaran HAM berat mempunyai hak atas ganti rugi/kompensasi dari negara.
“Sementara perhatian negara terhadap tindak pidana terorisme sudah sangat maju. LPSK juga sudah melakukan pembayaran kompensasi terhadap para korban, tetapi untuk tindak pelanggaran HAM berat masa lalu ini, kami masih belum mempunyai pola yang jelas,” tutur Hasto.