Menurut Madrim, dalam catatan AJI, masih ada delapan kasus, yang penanganannya belum tuntas sampai sekarang.
Jurnalis merupakan pilar keempat dari demokrasi, sehingga media pun memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyampaikan informasi untuk menyampaikan kebenaran kepada publik. Meskipun demikian, kasus demi kasus kekerasan terus menimpa jurnalis. Beberapa di antaranya ditemukan tewas terbunuh ketika menjalankan tugas jurnalistik atau dampak penerbitan karya jurnalistik mereka.
Hal ini menjadi perhatian Aliansi Jurnalis Independen (AJI), karena jika pembunuhan terhadap jurnalis ini tidak terungkap, maka akan menguatkan impunitas atau praktik pembiaran hukum, bagi pelaku kekerasan jurnalis.
Berangkat dari kondisi di atas, AJI Indonesia telah mengadakan beberapa sesi diskusi, dan riset bersama AJI kota dan pihak terkait, untuk mengumpulkan data dan dokumen terkait beberapa kasus dark number jurnalis di Indonesia. Data dan dokumen telah terkumpul, AJI Indonesia kemudian menerbitkan laporan tersebut dalam sebuah buku digital dengan judul 'Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia.'
Tulisan dalam buku tersebut menyajikan kisah jurnalis Udin di Yogyakarta, Alfred Mirulewan di Ambon, Herliyanto di Sidoarjo, Adriansyah Matrais di Merauke, Naimullah di Mempawah, Prabangsa di Denpasar, Ersa Siregar dan Muhammad Jamal di Aceh serta Agus Mulyawan yang bertugas dan tewas di Timor Leste.
"Kredo jurnalis yang selama ini kita kenal yaitu 'tidak ada berita seharga nyawa'. Ini memang selalu kita pegang. Ketika ada satu kematian jurnalis atau jurnalis yang kemudian meninggal karena dibunuh, ini sejatinya adalah kematian bagi kebebasan pers," kata Ketua AJI Sasmito Madrim mengutip Webinar Diseminasi Buku Digital: Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia, Rabu (12/10).