Berdalih menggenjot penerimaan devisa, pemerintah getol mengirimkan TKI ke luar negeri. Namun, tak diikuti upaya perlindungan memadai.
Kematian TKI asal NTT Adelina Lisao, menambah daftar panjang kasus kekerasan berujung kematian pada buruh migran Indonesia. Organisasi Migrant Care mengutuk keras tindakan majikan Adelina, yang telah menyiksa dan membiarkannya tidur di emperan rumah selama sebulan, bersama anjing peliharaan. Bahkan, tak diberi makan.
“Kematian Adelina memperpanjang daftar kematian buruh migran Indonesia asal NTT yang di tahun 2017 mencapai 62 orang. Kami mendesak pengusutan tuntas kasus ini, agar majikan mendapatkan hukuman yang berat dan setimpal atas kekejiannya,” ungkap Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo kepada Alinea.id, Selasa (13/2).
Pernyataan pihak perwakilan Indonesia di Penang, KJRI Penang dan KBRI Kuala Lumpur yang menyebut bahwa Adelina merupakan PRT migran Indonesia yang tidak berdokumen tak boleh menjadi alasan untuk tidak menangani kasus ini. Apalagi Wahyu menduga, ada indikasi Adelina merupakan korban perdagangan manusia.
Hal ini diamini Alex Wong, perwakilan Migrant Care Malaysia. Menurutnya, penyelundupan manusia disebabkan oleh kesenjangan kebijakan dan rantai nilai dalam perdagangan yang melibatkan negara pengirim serta penerima. “Biaya perekrutan buruh migran melalui prosedur formal terlalu tinggi akibat kolusi birokrat dan agen institusi. Setiap pekerja rumah tangga domestik idealnya digaji sekitar Rm 18.000 atau setara Rp 54 juta. Sementara jika mempekerjakan tenaga ilegal asing, mereka hanya perlu mengeluarkan gaji Rp 8 juta saja,” ujarnya.
Kesenjangan inilah yang menjadi daya tarik derasnya frekuensi perdagangan gelap manusia di Malaysia. “Adelina sendiri merupakan korban penipuan akibat praktik perdagangan manusia. Di sisi lain, tak ada perlindungan terhadapnya, badan pekerja rumah tangga Malaysia justru mengeruk keuntungan dari keberadaan Adelina ini,” tuturnya.