Pernikahan dini adalah krisis yang sangat serius. Itu menjadi alarm kematian yang sunyi karena menyumbang pada tingginya mortalitas ibu.
Putri (bukan nama sebenarnya) masih duduk di bangku kelas 3 SMP ketika ia tiba-tiba sering absen dari sekolah. Perlahan, ia tak pernah masuk sekolah lagi dan tak memberi kabar ke teman-temannya yang lain. Belakangan, teman-temannya baru mengetahui jika Putri telah menikah. Kabar ini mengejutkan teman-teman kelasnya. Selama ini Putri tergolong anak yang cukup pandai dan baik di kelasnya.
Selain Putri, Sanita Rini juga awalnya akan dinikahkan orang tuanya, sesaat setelah ia menginjak usia 13 tahun. “Saya terkejut. Saya menangis dan marah,” ucap Rini pada Reuters. “Saya tahu dari teman-teman saya yang menikah muda, mereka tidak bisa melanjutkan sekolah, kehidupan mereka berakhir,” kata Rini.
Pernikahan anak memang bukan hal yang aneh di desa Rini. Para orang tua akan menikahkan anak mereka untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Di desa Rini, seorang perempuan berusia 16 tahun yang belum menikah akan dilabeli sebagai “perawan tua”. Tak heran jika orang tua Rini hampir menikahkannya di usia 13 tahun.
Rini akhirnya berkata pada orang tuanya, “Jika bapak ibu membatalkan pernikahan ini dan membiarkan saya melanjutkan pendidikan saya, saya akan membayar semua uang yang telah bapak dan ibu keluarkan untuk saya. Namun, jika bapak ibu maksa saya buat nikah, bapak ibu enggak bakal dapat apa-apa dari saya.”
Orang tua Rini akhirnya sepakat dan ia bangga karena orang tuanya mau mengubah cara pandang mereka. Rini bersama aktivis lainnya saat ini mendirikan koalisi 18+ yang rutin mengampanyekan pernikahan di atas usia 18 tahun.