Kenaikan tarif ini merupakan upaya untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, yang ditaksir mencapai Rp28 triliun.
Presiden Joko Widodo berencana menerbitkan peraturan presiden sebagai pijakan hukum, terkait kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Nasional (BPJS) Kesehatan. Kenaikan tarif ini merupakan upaya untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, yang ditaksir mencapai Rp28 triliun. Perpres itu segera diterbitkan, agar penyesuaian tarif bisa berlaku pada 2020.
Sebelumnya, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengatakan, kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan berlaku untuk seluruh kelas, mulai dari Mandiri I, II, III, hingga penerima bantuan iuran (PBI) yang mendapat subsidi dari pemerintah.
Akan tetapi, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menuturkan, kenaikan tarif iuran tak akan dipukul rata untuk semua kelas. Perhitungannya bakal melihat jumlah peserta di masing-masing kelas dan status peserta.
Boleh naik, tapi jangan gegabah
Menanggapi wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Kepala bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar memandang, kenaikan tersebut memang tak bisa dihindari. Hal itu merupakan amanat Pasal 38 Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
“Mengamanatkan jika iuran BPJS Kesehatan perlu dinaikkan dua tahun sekali untuk menyesuaikan laju inflasi,” kata Timboel saat dihubungi Alinea.id, Senin (12/8).