Hakim MK menilai ada inkonsistensi dalam konteks objek materi dalam surat kuasa yang ingin diujikan.
Uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Mahkamah Konstitusi (MK), dinilai perlu banyak perbaikan. Khususnya yang terkait dalam draf pengujian materi yang dimohonkan.
Hakim MK Wahiduddin Adams mengatakan, ada indikasi para pemohon terburu-buru dalam menyusun permohonannya. Salah satu indikatornya adalah, adanya inkonsistensi dalam konteks objek materi dalam surat kuasa yang ingin diujikan.
Misalkan saja pada surat kuasa, pemohon telah memohonkan pengujian materil yakni UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan pengujian formil, yakni revisi UU KPK yang telah disepakati bersama DPR dan pemerintah. Akan tetapi, pada setiap poin surat kuasa tidak tercantum revisi UU KPK secara jelas.
Selain itu, gugatan permohonan uji materi ini juga prematur. Dikarenakan dalam permohonan uji formil terkait revisi UU KPK yang sudah disepakati bersama, masih belum terlampir nomor dan tahun secara sah. Ini karena revisi UU KPK baru disahkan DPR dan belum melalui proses pengesahan dari Presiden Joko Widodo.
Bagi Wahiduddin, jika ingin melakukan pengujian materi terhadap revisi UU KPK sebaiknya menunggu pengesahan dari presiden. Oleh sebab itu, agar gugatan ini sah dan dikabulkan, maka pemohon harus menunggu revisi UU KPK ini benar-benar disahkan dan mendapatkan nomor serta tahun setelah diundangkan.