Majelis Hakim MK menilai proses pembentukan UU KPK sesuai prosedur.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (4/5). Gugatan tersebut diajukan eks pimpinan KPK era Agus Rahardjo, yakni Laode Muhammad Syarif, Saut Situmorang, dan 11 pemohon lainnya.
“Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan seterusnya. Amar putusan mengadili; dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon dalam pokok permohonan, menolak permohonan pokok para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5).
Dalam pertimbangannya, dalil pemohon yang menyebut UU KPK tidak melalui prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum dinilai hakim tidak beralasan menurut hukum. Lalu, dalil pemohon yang menyatakan draf revisi UU KPK fiktif, juga tidak beralasan menurut hukum.
Majelis hakim menilai proses pembentukan UU KPK disebut telah sesuai prosedur dan menganggap geliat penolakan terhadap UU KPK dalam aksi demonstrasi hanyalah kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Bahkan, majelis hakim membuktikannya dengan mencontohkan adanya aksi demonstrasi tandingan pendukung revisi UU KPK.
Terhadap putusan MK a quo, seorang hakim konstitusi Wahiduddin Adams memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Ia mengatakan, beberapa perubahan UU KPK baru telah secara nyata mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi lembaga antirasuah itu.