P2G beber sejumlah kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim yang tuai polemik.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengelola pendidikan dengan dua frasa kalimat yang justru kontradiktif, yakni ‘bergerak serentak’.
Pada kenyataannya, kata P2G, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) minim melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan dalam mendesain kebijakan pendidikan nasional.
P2G menilai banyak kasus kebijakan Nadiem yang menuai polemik. Pertama, Program Organisasi Penggerak yang sebabkan PGRI, NU, Muhammadiyah undur diri. Kedua, Merdeka Belajar menduplikasi hak merek dagang PT Sekolah Cikal. Ketiga, hilangnya pelajaran Sejarah dalam rencana penyederhanaan kurikulum. Keempat, hingga saat ini, proses penyederhanaan kurikulum tertutup, tidak transparan, dan tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.
Kelima, lanjut P2G, tidak adanya frasa ‘agama’ dalam peta jalan pendidikan. Keenam, hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam PP No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Ketujuh, Kamus Sejarah Kemendikbud tidak memasukkan beberapa tokoh nasional, seperti nama KH. Hasyim Asyari, AH. Nasution, Abdurrahman Wahid, Sukarno, dan Hatta. Di sisi lain, malah memasukkan nama Abu Bakar Baasyir.
Menurut P2G, kasus PP No. 57/2021 tentang SNP sebenarnya juga menghilangkan peran pengawas sekolah; BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, dan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan). Padahal, empat hal tersebut tertuang dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP SNP sebelumnya.