Gagasan mendirikan unit PPA hadir di kalangan polwan usai kasus-kasus pemerkosaan massal pada 1998 terungkap.
Beberapa hari sebelum lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, Jakarta porak-poranda. Di tengah kerusuhan yang melanda berbagai titik di Ibu Kota, aksi-aksi pemerkosaan yang target utamanya perempuan beretnis Tionghoa terjadi.
Data kasus-kasus pemerkosaan itu dikumpulkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Jumlahnya ditaksir mencapai ratusan kasus. Meskipun bukti-buktinya cukup kuat, kasus-kasus itu tak kunjung diusut. Dalam beberapa kesempatan, para petinggi Polri justru cenderung tak mengindahkannya.
"Karena tak seorang pun korban mendapat pelayanan sistem peradilan sementara Polri bersikap defensif dan menyalahkan para korban yang tidak mau melaporkan kekerasan yang dialaminya," tulis Anny S. Tarigan dalam buku "Derap Warapsari: Bakti Dwi Dasa Warsa" yang terbit pada 2019.
Buku itu mengisahkan perjuangan enam polisi wanita (polwan) senior pendiri Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan (LBPP) Derap Warapsari. Mereka ialah Letkol Jajuk Raimah Tjambang, Kolonel Soedjani S. Tarigan, Kolonel Endang Yudhana, Kolonel Hanny Soenaryo, Kolonel Retno Gayatri Nasrun, dan Kolonel Pol. Irawati Harsono.
Derap Warapsari didirikan tak lama setelah kasus-kasus pemerkosaan pada Mei 1998 diungkap ke publik. Sebagaimana lembaga swadaya masyarakat lainnya, Derap Warasari dibentuk dengan niatan membantu para korban pemerkosaan dan kasus-kasus kekerasan ketika itu.