Penolakan aturan baru datang, terutama dari kalangan serikat pekerja.
Polemik mengenai pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan di usia 56 terus bergulir. Peraturan yang tertuang dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 itu dinilai tidak peka terhadap kebutuhan pekerja. Sebelumnya dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 pekerja hanya perlu menunggu satu bulan untuk mencairkan JHT secara tunai. Penolakan aturan pun datang, terutama dari kalangan serikat pekerja.
Pakar Kebijakan Publik yang juga Pengajar Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan juga pendiri Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menilai perubahan permenaker tersebut tidak tepat dilakukan saat pemutusan hari kerja (PHK) meningkat di tengah pandemi Covid-19.
JHT yang tidak dapat dicairkan segera akan mencekik buruh yang terkena PHK. Tren ini sejalan dengan angka PHK yang meningkat tajam sepanjang 2021. Ditjen Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsos mencatat 143.065 pekerja kehilangan pekerjaan. Covid-19 menyebabkan 2.819 perusahaan berpotensi tutup dan 1,07 juta orang dirumahkan.
“Bila pekerja harus dirumahkan mungkin mereka berniat mencari pekerjaan lain, namun ketika pekerjaan tidak bisa ditemukan, pencairan JHT akan membantu mereka bertahan hidup dan membuka usaha mandiri,” kata Achmad dalam keterangan resminya, Selasa (15/2).
Penundaan JHT sampai usai 56 tahun menyebabkan para pekerja berpotensi menjadi beban pemerintah dan masyarakat karena mereka tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi diri dan keluarga. Menurut Achmad pencairan JHT berbasis Permenaker No 19 Tahun 2015 sudah tepat di saat krisis ekonomi.