Bicara Etnis China di Jakarta kerap disesaki dengan narasi kebencian. Ini cerita dari mereka di pinggiran kota yang terjatuh, lalu bertahan.
Perayaan Imlek 2018 di Vihara Darma Bakti, Petak Sembilan, Jakarta Barat tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kawasan ini memerah, akibat didominasi berbagai ornamen lampion, dupa, lilin, dan busana cheongsam yang dikenakan umat Tridarma.
Jumat (16/2) siang, pusat ibadah tersebut kian ramai. Para pengemis datang dari penjuru kota menyemut berharap ‘angpau’, para kuli tinta mengabadikan gambar, sementara orang China datang memanjatkan doa dengan tenang.
Pemandangan ini barangkali tak akan tampak saat Etnis China masih jadi sasaran amuk di era kolonialisme. Abad 17, tepatnya pada 9 Oktober 1740 hingga 13 hari berikutnya, ribuan mayat orang China memenuhi kanal-kanal kota. Seorang pelaku pembantaian dan perampokan, G.Bernhard Schwarzen, dalam bukunya Reise in Ost-Indien (1751) bercerita, “Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”
Pria, wanita, anak-anak yang lari berhamburan di jalan, semua dibunuh dengan keji saat itu. Salah satu lokasi pembantaian yang cukup terkenal adalah halaman belakang Balai Kota Batavia, kini dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta. Pembantaian China diikuti dengan pembakaran kediaman mereka di dalam tembok kota.