Polisi tak akan memberikan izin kepada masyarakat untuk berdemonstrasi di Papua.
Rangkaian aksi unjuk rasa yang terjadi di beberapa wilayah di Papua, menurut polisi, bukan lagi menyuarakan isu rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada Jumat, 16 Agustus 2019. Suara aksi massa sudah melebar ke arah referendum. Demikian diungkapkan oleh Kapolres Mimika, AKBP Agung Marlianto.
Agung mengatakan, saat demonstrasi pada 21 Agustus 2019 orasi yang disampaikan sejumlah tokoh malah melebar ke isu soal referendum dan perjuangan memerdekakan Papua dari bingkai NKRI.
Dari orasi tersebut, massa yang terbakar emosinya berbuat anarkistis. Mereka melempari aparat dan Kantor DPRD Mimika dengan batu. Lalu merusak sejumlah kendaraan, aset Hotel Grand Mozza, menjarah kios dan membakar alat berat yang sedang mengerjakan pekerjaan di Jalan Cenderawasih.
“Saat demonstrasi tanggal 21 itu tidak ada korlapnya (koordinator lapangan) yang akhirnya berujung anarkis. Esensi yang disampaikan tidak lagi pada isu rasisme, tapi sudah melebar ke referendum, minta merdeka. Itu sudah tidak bisa kita tolerir,” kata AKBP Agung Mimika, Papua pada Senin (26/8).
Karena itu, kata Agung, apabila ada massa yang berkumpul meski dalam jumlah kecil, pihak kepolisian akan langsung membubarkan mereka. Agung menyebut, pihaknya tidak akan menunggu kerumunan massa membbesar. Sejumlah kekuatan aparat keamanan pun telah disiapkan untuk memukul mundur atau membubarkan massa.