SDM dan perkembangan riset kesehatan akan turut terdampak akibat institusi litbangjirap kementerian/lembaga diintegrasikan ke dalam BRIN.
Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia (Apkesi) berpendapat, Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) akan turut memengaruhi terhadap riset kesehatan. Sumber daya manusianya (SDM) di dalamnya juga bakal terdampak.
Ketua Apkesi, Agus Purwadianto, lantas mengumpamakan peneliti pada lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) sebagai ikan. Sementara itu, ekosistemnya dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang tertuang dalam Pasal 48 UU Sisnas Iptek bak akuarium.
"Kalau kita lihat di sini, di dalam Pasal 48, betul terintegrasinya bermasalah," ucap Agus dalam webinar Alinea Forum bertema "Uji Materi Regulasi BRIN" pada Selasa (31/8). "Dalam konteks peneliti, peneliti ibaratnya seperti ikan. Yang diatur di sini, kan, akuariumnya. Bisa dibayangkan kalau akuariumnya keliru? Ya, banyak ikan yang mati. (Sebaliknya) kalau akuariumnya baik, maka ikannya hidup."
Agus menambahkan, pengintegrasian lembaga litbangjirap kementerian/lembaga ke dalam BRIN pun akan menjadi dilema bagi peneliti, terutama aparatur sipil negara (ASN) dengan jabatan fungsional non-kesehatan di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes, calon peneliti ASN, birokrat, profesi mandiri, peneliti musiman, peneliti yang merangkap dosen, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dia menyarankan pengintegrasian ini tidak serta merta menjadikan BRIN mengendalikan semua inovasi dan invensi yang selama ini dilakukan litbangjirap setiap kementerian/lembaga. Misalnya, hasil invensi dan inovasi litbangjirap tidak otomatis laik diterapkan langsung kepada manusia, apalagi sedang sakit atau populasi sehat berisiko pada kesehatan masyarakat (kesmas).