Letusan Gunung Agung berdampak pada penutupan Bandara I Gusti Ngurah Rai. Akibatnya, 18 ribu pelancong asing batal ke Bali.
Terhitung sejak Senin (27/11), pukul 06.00 Wita, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMG) menaikkan status Gunung Agung dari siaga menjadi awas. Penaikan itu terjadi karena meningkatnya fase freatik atau uap air bertekanan tinggi dan mengalami kontak langsung dengan magma, menjadi magmatik sejak teramati adanya sinar merah di puncak gunung pada Minggu (26/11) pukul 21.00 Wita.
“Erupsi dari fase freatik ke magmatik ini terlihat kepulan abu tebal yang terus menerus mencapai ketinggian 2.000-3.400 meter dari puncak Gunung Agung,” terang Kepala Bidang Mitigasi PVMBG, I Gede Suantika seperti dikutip dari Antara.
Erupsi kepulan abu terus menerus yang disertai letusan eksplosif ini terdengar suara dentuman lemah hingga radius 12 kilometer dari puncak gunung. Hal tersebut menandakan potensi letusan lebih besar yang mungkin segera terjadi.
Sejak 1800, PVMBG mencatat Gunung Agung meletus sebanyak empat kali. Letusan petama, terjadi pada 1808 dan melontarkan abu serta batu apung dalam jumlah yang besar. Selanjutnya, pada 1821, juga terjadi erupsi. Namun, karena minimnya teknologi, belum ada catatan pasti terkait kekuatan semburan dan korban jiwa dari gunung dengan ketinggian 3.031 itu.
Kemudian pada 1843, erupsi Gunung Agung kala itu didahului dengan gempa bumi. Material yang dimuntahkan yakni abu, pasir dan batu apung. Terakhir, pada 18 Februari 1963, letusan Gunung Agung terjadi hingga 27 Januari 1964. Sebanyak 1.148 nyawa melayang dan 296 terluka akibat bencana tersebut. Ironisnya, 863 tewas akibat terkena muntahan awan panas Gunung Agung.
Merujuk pada empat letusan sebelumnya, tipe letusan Gunung Agung bersifat eksplosif, yakni dengan melontarkan batuan pijar, pecahan lava, hujan piroklastik serta abu. Selain itu, letusan Gunung Agung juga efusif, yakni berupa aliran awan panas dan aliran lava.