Hak asasi manusia, supermasi sipil, dan penegakan demokrasi harus menjadi parameter dalam melibatkan TNI.
Salah satu mandat UU No.5 Tahun 2018, yakni Peraturan Presiden tentang pelibatan TNI mengatasi aksi terorisme dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme banyak menuai kritik. Dikarenakan hal itu dapat mengancam HAM di Indonesia karena memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Mataram Syaiful Anam mengatakan, pelibatan TNI bisa dibilang perlu dalam hal kontraterorisme, tetapi dengan beberapa syarat.
Pertama perluasan peran TNI dalam penanggulangan terorisme harus dilakukan dalam kerangka supermasi sipil dan demokrasi, serta tidak mengganggu jalannya agenda reformasi sektor keamanan.
Jika tidak, agenda reformasi sektor keamanan berpotensi mengalami kemunduran jika rancangan Perpres tersebut disahkan. Artinya hak asasi manusia, supermasi sipil, dan penegakan demokrasi harus menjadi parameter dalam melibatkan TNI.
Kedua, perluasan peran TNI dalam penanggulangan terorisme harus didasarkan pada penilaian terhadap intensitas ancaman. Artinya seberapa tinggi level ancaman itu TNI harus terlibat, ancaman tersebut bukan pada level yang sifatnya masih bisa dilakukan oleh kepolisian.