Berdasarkan data Polri, jumlah tersangka kasus dugaan terorisme di Indonesia pasang-surut dalam lima tahun terakhir sejak 2017.
Indonesia diklaim menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki program deradiklasasi terhadap tersangka hingga mantan narapidana terorisme (napiter) dan keluarganya. Ketentuan ini tertuang di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Di luar negeri, program deradikalisasi seperti itu tidak ada," ujar Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Nisan Setiadi, dalam keterangannya, Senin (24/10).
Dicontohkannya dengan Belanda, di mana napiter hanya menjadi sasaran program identifikasi dan reedukasi saat masuk lembaga pemasyarakatan (lapas). "Begitu mereka keluar, tidak ada lagi proses reintegrasi dan resosialisasi seperti yang kita lakukan," ucapnya.
Karenanya, menurut Nisan, pemerintah di luar negeri tak memikirkan nasib napiter usai menjalani hukuman. "Mau jadi orang baik silakan, kalau mau jadi teroris tentu akan dibantai lagi. Apalagi, mengurus keluarga para pelaku terorisme."
Di Indonesia, sambung dia, BNPT mempertemukan napiter dengan para korban melalui kegiatan "Silaturahmi Kebangsaan". Lalu, membentuk Wadah Akur Rukun Usaha Nurani Gelorakan (WARUNG) NKRI, di mana napiter dan penyintas bisa berjualan bersama-sama.