Kewenangan Lembaga Pengelolaan Tanah yang terlampau luas dinilai hanya akan mengubah pemerintah menjadi spekulan tanah.
Bank Tanah atau Lembaga Pengelolaan Tanah dalam RUU Pertanahan dinilai berbahaya karena mampu merampas tanah yang belum diakui negara. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika khawatir kewenangan Lembaga Pengelolaan Tanah yang terlampau luas hanya akan mengubah pemerintah menjadi spekulan tanah.
"Bahayanya, tanah negara sampai sekarang masih debatable. Semua tanah masyarakat yang belum disertifikatkan oleh pemerintah tersebut dianggal ilegal dan (dapat) diklaim sebagai tanah negara," tutur Dewi dalam Konferensi Pers Menuju Hari Tani Nasional di Sekretariat Nasional KPA, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (22/9).
Lebih lanjut, Dewi menjelaskan, kewenangan Lembaga Pengelolaan Tanah bukan hanya sekadar mengatur dan mengontrol harga tanah, melainkan juga dapat bekerja sama dengan pihak ketiga atau asing.
"Cara kerja lembaga pengelolahan tanah ini kan mengidentifikasi tanah-tanah yang dianggap sebagai tanah negara, yang kemudian mereka kelola dalam sistem tersebut (tertuang dalam RUU Pertanahan), seperti land freezing, pembekuan agar tidak terjadi fluktuasi harga tanah," ujar Dewi.
Menurutnya, kewenangan transaksi sewa-menyewa dalam Lembaga Pengelolaan Tanah sangat bermasalah. Sebab, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi No.96/PUU-XIV/ 2016, penguasaan tanah oleh negara, bukan berarti kepemilikan.