Mudik dianggap sebagai momentum paling efektif berkumpul dengan keluarga besar.
Mudik menurut pengamat transportasi Darmaningtyas, telah bergeser sebagai produk budaya. Alih-alih sekadar rutinitas yang dilakukan saban tahun, mudik telah jadi budaya sejak mulai ngetren pada medio 1970-an.
Saat itu industri di Jakarta baru berkembang, sehingga arus urbanisasi dari penduduk desa tak terbendung lagi. Kebanyakan dari warga desa yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur ini datang ke Ibu Kota untuk bekerja.
“Pulang kampung saat Lebaran, transportasinya masih susah. Jadi bisanya itu saat mudik, pada saat lebaran pulang kampungnya,” kata Damar, dalam FGD di Jakarta, Kamis (7/6).
Ketersediaan angkutan lebaran oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga mulai diinisiasi sejak tahun tersebut. Sayangnya, dari tahun ke tahun, respons publik pada angkutan mudik gratis ini sepi peminat, termasuk tahun ini.
Selain itu ada beberapa alasan yang menyebabkan mudik jadi tradisi. Di antaranya masyarakat ingin menghidupkan kembali tradisi lokal yang kian terkikis akibat persentuhan modernisasi di kota-kota besar. Di saat gawai sudah merebut perhatian anak-anak, lalu kesibukan menjelma rutinitas, maka kebersamaan Lebaran jadi momentum penebusan yang efektif. Saat Lebaran pula, seluruh keluarga bisa berkumpul bersama.