Serikat buruh menilai, DPR tidak punya wewenang memanggil, memeriksa, bahkan melakukan penyanderaan dengan bantuan kepolisian.
Beberapa organisasi buruh mengajukan permohonan uji materi pasal 73, pasal 122 huruf (l), dan pasal 245 Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi, terkait dengan pemanggilan paksa oleh DPR.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara: 34/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang diwakili oleh Nining Elitos dan Sunarno, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI) diwakili Eduard Parsaulian Marpaung, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) oleh Ilhamyah dan Damar Panca Mulya, serta SINDIKASI oleh Ellena Ekarahendy dan Nur Aini.
"Pasal 73 UU MD3 mengakibatkan DPR dapat memanggil paksa seseorang dengan menggunakan kekuatan lembaga kepolisian," ujar kuasa hukum pemohon Arif Maulana, di Gedung MK Jakarta, Kamis (3/5), dilansir Antara.
Para pemohon menilai, DPR bukanlah lembaga yudikatif yang mempunyai wewenang untuk memanggil, memeriksa, bahkan melakukan penyanderaan dengan bantuan kepolisian.
Selain itu, pemohon menganggap tidak ada kejelasan untuk perkara apa warga negara dapat dipanggil paksa dan dilakukan penyanderaan.
"Hal ini berpotensi melanggar hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945," ujar Arif.
Menurut pemohon, segala tindakan yang dikategorikan 'upaya paksa' harus diatur tata cara dan hukum acaranya melalui undang-undang. Sedangkan pada UU MD3 tidak ditemukan tata cara dan hukum acara untuk upaya paksa tersebut.
Sementara pasal 122 huruf (l) dinilai tidak memiliki definisi yang jelas mengenai apa yang dianggap dengan merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Lebih lanjut, prosedur untuk memanggil dan memeriksa anggota DPR pada pasal 245 UU MD3, menurut pemohon bertentangan dengan prinsip independensi peradilan.
Diberlakukan pasal-pasal ini, menurut para pemohon berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di muka hukum yang dijamin di dalam UUD 1945.