Sistem zonasi yang tertuang di dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 menuai pro-kontra di masyarakat.
Shabirin, seorang pegawai negeri sipil (PNS) asal Sidoarjo, Jawa Timur, menganggap sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) sudah mencerminkan keadilan. Sebelum pemberlakuan zonasi, kata dia, anak-anak warga setempat hanya bisa “memantau” sekolah negeri favorit yang ada di sekitar rumahnya.
“(Dengan sistem zonasi ini) yang dekat dengan sekolah favorit, tapi tidak bisa masuk karena mungkin otaknya pas-pasan jadi punya kesempatan,” ujar Shabirin saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (18/6).
Shabirin mengaku tak ada kesulitan dalam mendaftarkan anaknya. Namun, ia menyesalkan ketidaksabarannya menentukan pilihan sekolah negeri bagi anaknya, malah berimbas tak baik.
“Kalau mau sabar SMA Negeri 4 bisa masuk, tapi karena tidak sabar dan inginnya memang di SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 2. Dan pilihannya memang itu, jadinya tidak lolos. Akhirnya masuk SMA Muhammadiyah dekat sini,” tuturnya.
Akan tetapi, sistem ini mendapat penolakan pula dari sejumlah masyarakat. Muncul petisi di Change.org yang menolak sistem zonasi. Salah satunya petisi yang dibuat politikus PDIP Sonny T Danaparamita bertajuk “Segera Revisi Zonasi dalam Sistem PPDB”.