Pemaksaan untuk bekerja tanpa kompensasi yang layak juga merupakan pelanggaran terhadap HAM, khususnya hak atas standar kerja.
Temuan investigasi Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAPHAM) atas kasus kejahatan kerangkeng manusia di Langkat, Sumatera Utara, menemukan adanya eksploitasi yang dilakukan terhadap para korban atau penghuni kerangkeng. Pangkalnya, dipaksa bekerja tanpa memperoleh upah.
Pendamping hukum dari KontraS, Andrie Yunus, mengungkapkan, setelah memasuki kerangkeng yang diklaim sebagai tempat rehabilitasi, para korban sempat disiksa selama hampir 14 hari. Kemudian, dipaksa bekerja di berbagai lokasi, mulai dari pabrik, perkebunan sawit, hingga kediaman Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin (TRP).
"Jadi, setelah masuk dan mengalami tindak penyiksaan selama hampir 14 hari, korban kemudian dipaksa bekerja di perusahaan sawit dengan berbagai posisi," kata Andrie dalam keterangan pers, Senin (21/11).
Ada pula korban yang ditempatkan di perkebunan sawit untuk mengerjakan pekerjaan, seperti memanen buah sawit, membersihkan kebun, hingga menjadi supir kendaraan pengangkut hasil panen. Selain itu, ada korban yang dieksploitasi untuk merenovasi rumah Terbit Rencana.
Andrie menjelaskan, berdasarkan keterangan korban, penghuni kerangkeng melakukan pekerjaan selama hampir 24 jam tanpa waktu istirahat yang cukup. Bahkan, korban tidak menerima upah maupun jaminan apa pun atas pekerjaan yang dilakukan.