Jika aspek moral yang menjadi pertimbangan, MKMK bisa saja keluar dari pakem hukum tata negara positif.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sedang dalam proses memeriksa dugaan pelanggaran kode etik para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) soal keputusan uji materi perkara 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres dan cawapres.
Beberapa Hakim Konstitusi termasuk Ketua MK Anwar Usman telah diperiksa. Pada hari ini (2/11) pun, MKMK memeriksa Wakil Ketua MK Guntur Hamzah. MKMK telah menjadwalkan kalau putusannya dilakukan pada 7 November.
Ada sepuluh persoalan terkait MK yang ditangani MKMK. Pertama, hakim konstitusi tak mengundurkan diri padahal punya kepentingan hubungan keluarga. Kedua, hakim konstitusi berbicara substansi materi perkara yang sedang diperiksa. Ketiga, hakim MK mengungkapkan disentting opinion terkait substansi materi perkara yang sedang diperiksa. Keempat, hakim konstitusi dianggap melanggar kode etik karena membicarakan persoalan internal ke pihak luar. Kelima, hakim konstitusi dinilai melanggar prosedur registrasi. Keenam lambatnya pembentukan MKMK. Ketujuh, mekanisme pengambilan keputusan yang dinilai kacau. Kedelapan, dianggap dijadikan alat politik praktis. Kesembilan, terdapat permasalahan internal yang diketahui pihak luar. Kesepuluh, hakim konstitusi diduga melakukan kebohonhan terkait ketidakhadiran dalam RPH perkara Nomor 29-51-55.
Sidang etik pun itu dianggap berpotensi membatalkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wapres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Jika MKMK memutuskan terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim konstitusi. Sebagian kalangan diyakini bakal mengaitkan hal itu dengan Pasal 17 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di mana, hakim atau panitera wajib mengundurkan diri ketika punya kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.