Nasional

UU Cipta Kerja kacaukan sistem perizinan dan pengawasan P3MI

Perempuan, aktor dominan dalam kasus-kasus pelanggaran hak buruh migran, lebih membutuhkan pengesahan UU PKS dan UU PPRT.

Selasa, 24 November 2020 15:42

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dianggap mengacaukan sistem perizinan dan fungsi pengawasan perusahan penempatan pekerja migran (P3MI). Ironisnya, regulasi sapu jagat (omnibus law) ini lahir justru saat kepastian hukum terhadap perlindungan perempuan buruh migran belum terwujud.

Padahal, terang Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP), Arie Kurniawaty, P3MI merupakan aktor dominan dalam kasus-kasus pelanggaran hak buruh migran, khususnya sektor perseorangan yang mayoritas perempuan. Perubahan sistem perizinan P3MI yang dikaburkan dengan hanya menyebutkan pemerintah pusat akan berdampak pada sulitnya masyarakat daerah mengawal dan mengintervensi.

"(Hingga) hari ini masih terus terjadi berbagai macam kekerasan, pelanggaran, ketidakadilan yang menimpa perempuan buruh migran, sementara negara justru sibuk memfasilitasi investor, sibuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengendalikan otoritas tubuh perempuan, dan mengesampingkan mandat yang diberikan oleh rakyat," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (24/11).

Dirinya mengingatkan, jaminan perlindungan terhadap buruh migran perempuan semakin melemah jika sistem perizinan dan pengawasan P3MI kian lembek. Sialnya, proses pengesahan UU Ciptaker sangat kilat, sedangkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sudah 16 tahun mangkrak.

Pun demikian dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang maju mundur tanpa kepastian. Padahal, perempuan lebih membutuhkan UU PPRT dan RUU PKS daripada UU Ciptaker.

Manda Firmansyah Reporter
Fatah Hidayat Sidiq Editor

Tag Terkait

Berita Terkait