Nasional

Habibie dalam pusaran gelombang demokratisasi

Habibie membangun fondasi sendi-sendi sistem politik yang penting negeri ini. Warisannya tak terlupakan.

Kamis, 12 September 2019 19:07

Massa membakar mobil di jalanan Ibu Kota Jakarta. Kepulan asap dari mobil yang gosong itu tak sampai ke ruang kepresidenan Bacharuddin Jusuf Habibie. Bau kembang Melati merebak ke seluruh ruangan kepresidenan Habibie di Istana Merdeka, Jakarta. Mantan wakil presiden Indonesia itu kini menjadi orang nomor satu di Indonesia.

”Saudara-saudara harus mengerti latar belakang saya,” kata Habibie kepada tim wartawan New York Times yang mewawancarainya, 28 Mei 2000. ”Saya bukan politikus. Saya bahkan tidak tertarik di bidang politik. Lalu tiba-tiba saya harus mengambil alih kekuasaan,” kata Habibie.

Peristiwa itu terjadi 21 Mei 1998, ketika Soeharto tiba-tiba lengser dari jabatannya, lalu tanpa sepenggal kata pun kepada Habibie mewariskan Indonesia ke tangan wakilnya. Dengan perasaan sedih dan perih, BJ Habibie, seorang insinyur penerbangan, satu-satunya orang yang tidak siap memimpin sebuah negara.

Pada malam usai dilantik, Habibie menyampaikan pidato pesan sebagai Presiden RI yang disiarkan langsung TVRI. Setelah itu, pukul 20.00, ia mengundang enam tokoh untuk urun rembug dalam pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan di kediaman Habibie di Patra Kuningan, Jakarta. Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Hartarto Sastrosoenarto, Haryono Suyono, Feisal Tanjung, Ginandjar Kartasasmita, dan Sekretaris Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar saat itu, Akbar Tandjung.

Di rapat itu Habibie meminta para tokoh yang diundang mau membantu dan menerima jabatan dalam pemerintahan. Habibie juga berujar, fraksi yang ada di DPR dan MPR harus terwakili secara proporsional di kabinet. Mereka yang duduk di kabinet harus profesional dan bisa bekerja sama dalam satu tim. 

Khudori Reporter
Khudori Editor

Tag Terkait

Berita Terkait