Pemilu

Golput bentuk ekspresi, pemilihnya tak bisa dipidanakan

Masyarakat merasa kecewa atas kinerja petahana juga para kandidat yang maju. Karena itu masyarakat memilih golput.

Rabu, 23 Januari 2019 14:29

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, mengatakan fenomena golongan putih atau golput yang kini marak pada saat pencoblosan merupakan bentuk ekspresi politik. Masyarakat merasa kecewa atas para calon pemimpin yang maju, baik dalam lingkup pilkada maupun pilpres.

“Fenomena golput ini ekspresi politik. Kalau kita bilang ini ekspresi politik, maka ini merupakan hak warga negara. Golput itu ekpresi politik yang sangat visioner, karena ia berangkat dari kekecewaan,” kata Yati dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Rabu, (23/1).

Yati mengimbau kepada seluruh kandidat yang bakal berlaga di Pemilu 2019 agar tak meremehkan ekspresi golput. Apalagi hal tersebut telah terbukti pada pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun lalu. 

Di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, kotak kosong menang atas pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Berdasarkan catatan KPU Makassar, pasangan Appi-Cicu memperoleh 264.245 suara atau  47%. Sedangkan kotak kosong meraup 300.795 suara atau 53%.

“Karena itu, jangan dianggap enteng atau remeh golput itu. Ini seharusnya dijadikan semacam pengingat atau alarm bagi para kandidat, bahwa ada kekecewaan, ketidakpuasan, kemarahan di masyarakat. Baik dari kinerja petahana, atau dari rekam jejak masing-masing kandidat,” kata Yati.

Rakhmad Hidayatulloh Permana Reporter
Tito Dirhantoro Editor

Tag Terkait

Berita Terkait