Selang 25 tahun kepergiannya, kasus pembunuhan buruh Marsinah, masih gelap. Untuk itu, 25 perempuan desak pemerintah usut lagi kasus itu.
Selang 25 tahun kepergiannya, kasus pemerkosaan dan pembunuhan buruh asal Sidoarjo Marsinah, masih gelap. Hari-hari jelang kematiannya, ia gunakan untuk turun ke jalan menyuarakan sejumlah tuntutan buruh dari PT Catur Putera Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, pabrik arloji tempatnya bekerja. Di antara tuntutan itu adalah kelayakan upah minimum regional dari Rp1,7 juta jadi Rp2,25 juta, upah lembur, dan cuti hamil bagi buruh perempuan.
Alih-alih dipenuhi haknya, Marsinah diduga diculik dan mengalami sejumlah tindak kekerasan termasuk kekerasan genital, lalu mayatnya dibuang di hutan Wilangan, Jawa Timur. Fakta kematian Marsinah menjelaskan, adanya sistem kerja yang melanggar hak buruh, kekerasan militer di bidang sipil, politik antiperempuan, politik antiserikat, serta upaya intimidasi dan represi. Muaranya sama, yakni untuk membangun ketakutan di masyarakat luas, sebagai ciri kekuasaan otoriter Orde Baru (Orba) kala itu.
Demi menutupi pelaku yang sebenarnya, pemerintah Orba kemudian mengelar peradilan palsu. Meskipun, hasil visum Marsinah telah cukup menjadi bukti untuk mengadili pelaku dan meletakkan kasus ini sebagai kejahatan HAM, namun pengusutan itu sempat ditutup dengan dalih kesulitan pembuktian.
Runtuhnya Orba lima tahun setelah Marsinah tewas, rupanya tak membuka jalan keadilan bagi buruh yang jadi korban represi. Bahkan setelah 20 tahun reformasi, kasus buruh perempuan tersebut masih menjadi misteri. Tidak berbeda dengan pelanggaran HAM yang lain di negeri ini, kematian Marsinah diabaikan.
Berangkat dari fakta tersebut, sebanyak 25 perempuan pembela demokrasi dari berbagai LSM menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kasus kematian Marsinah.