UU TPPO sudah berjalan 17 tahun sejak diundangkan pada 2007.
Kerangka hukum yang rapuh dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau UU TPPO mendesak untuk direvisi. Tujuannya, supaya lebih bisa menyikapi perkembangan kejahatan perdagangan orang, yang selaras dengan undang-undang lain yang terbaru, seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS.
Menurut Program Manager Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Adhigama Andre Budiman, pihaknya sudah meneliti sejumlah persoalan dalam UU TPPO. Maka, setelah 17 tahun berlaku, beleid itu harus segera direvisi DPR dan pemerintah.
Dia menjabarkan, dari sisi definisi yang terdapat dalam Pasal 4 UU TPPO tertulis, perdagangan orang untuk tujuan ke luar negeri yang disebut pelanggar hanya orang yang membawanya saja. Sementara pelaku utama yang mengorganisir, yang kemungkinan berada di luar negeri, tidak bisa dijerat pidana.
Secara utuh, bunyi Pasal 4 UU TPPO, yakni setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000 dan paling banyak Rp600.000.000.
Selain itu, dalam persoalan korban anak, aturan Pasal 6 UU TPPO hanya bisa dipakai jika anak sudah dieksploitasi atau menjadi korban.