Peristiwa

Frustrasi mengungsi dan pedihnya menanti giliran jadi korban Israel

“Saya berlarian, dikelilingi mayat, darah, pot anak-anak yang mengantri di dapur makanan, dan bergalon-galon air,” katanya.

Kamis, 18 Juli 2024 22:03

Pada Sabtu pagi, Waad Abu Zaher sedang berdiri di jalan yang ramai di al-Mawasi di Jalur Gaza selatan, mencoba mencari kereta keledai, minibus, atau transportasi lain agar dia bisa pergi bekerja.

Jurnalis berusia 30 tahun ini bekerja di tenda media di Kompleks Medis Nasser di Khan Younis dan melakukan perjalanan ke timur dari tenda kamp di al-Mawasi. Dia tinggal di sana bersama orang tuanya dan empat saudara laki-lakinya, yang telah mengungsi sebanyak delapan kali sejak Israel pertama kali mengeluarkan perintah evakuasi segera setelah perang di Gaza dimulai pada 7 Oktober.

Pagi itu dia menyaksikan ayahnya berangkat kerja dan saudara laki-lakinya pergi mengambil air dan membeli bahan makanan. Saat itu sekitar pukul 10 pagi ketika dia berdiri di bagian kamp yang ramai bagi para pengungsi, dengan pedagang, tempat pengisian air dan dapur umum yang membagikan makanan kepada anak-anak yang mengantri untuk mengambil makanan gratis.

“Tiba-tiba rudal pertama menghantam, lalu rudal kedua. Saya mendapati diri saya terbang dan mendarat dalam jarak yang cukup dekat. Langit menjadi putih karena debu. Rudal ketiga. Saya mulai berlari dan berteriak, ‘Saudara-saudaraku, saudara-saudaraku!'” kenangnya sambil tercekat saat berbicara melalui WhatsApp.

“Israel tidak hanya memaksa kami tinggal di tenda-tenda yang tidak cocok untuk kehidupan manusia, tapi juga mengejar kami di sini dengan bom dan rudal,” katanya.
 
Waad bilang dia mulai berlari, mencari saudara laki-lakinya. “Saya memeriksa tubuh saya sambil berlari - 'Apakah mata saya sudah siap? Apakah kepalaku baik-baik saja? Kakiku, tanganku, wajahku?'” kenangnya sambil berpikir.

Fitra Iskandar Reporter
Fitra Iskandar Editor

Tag Terkait

Berita Terkait