Peristiwa

Festival Gadhimai, pengorbanan hewan massal yang kontroversial

Pembantaian massal ini dapat ditelusuri kembali ke Bhagwan Chowdhary, pendiri kuil Gadhimai di Bariyarpur, Distrik Bara.

Minggu, 08 Desember 2024 15:00

Setiap lima tahun sekitar bulan November dan Desember, ratusan ribu hingga jutaan umat Hindu berbondong-bondong ke kuil di Nepal tenggara, di sebelah perbatasan negara itu dengan India, dalam sebuah tradisi yang telah memicu penghormatan sekaligus kontroversi. 

Festival ini dijuluki sebagai festival "paling berdarah di dunia" karena banyaknya hewan yang disembelih dan dipersembahkan sebagai kurban.

Festival Gadhimai, sebuah perayaan keagamaan lima tahunan yang sudah ada sejak lebih dari berabad-abad lalu, menjadi saksi pembantaian ribuan hewan—mulai dari tikus dan merpati hingga kambing dan kerbau—dengan keyakinan bahwa kurban massal tersebut akan menenangkan dewi Hindu Gadhimai, yang sebagai balasannya akan membawa kemakmuran bagi mereka. Selama festival terakhir pada tahun 2019, sebanyak 250.000 makhluk dipenggal, menurut kelompok kesejahteraan hewan Humane Society International (HSI).

Pertumpahan darah tersebut telah mengundang pengawasan yang semakin ketat, karena para aktivis yang memperjuangkan kesejahteraan hewan berhadapan dengan para penyembah yang percaya bahwa ritual tersebut merupakan landasan penting dan tak tersentuh dalam agama Hindu. Pengadilan tinggi di Nepal dan India telah berupaya untuk campur tangan, tetapi pembunuhan tampaknya akan terus berlanjut. Tahun ini, wakil presiden Nepal bahkan memimpin peresmian festival tersebut, yang telah diminta oleh para pendukungnya agar tidak ia ikuti.

“Gadhimai terkenal karena kekejaman terhadap hewan dan eksploitasi manusia,” kata Alokparna Sengupta, direktur HSI India, dalam sebuah pernyataan minggu lalu. “Sangat memalukan bahwa komite kuil Gadhimai mengeksploitasi harapan, ketakutan, dan frustrasi orang-orang miskin demi keuntungannya sendiri. Pemerintah Nepal harus melindungi dari eksploitasi ratusan ribu orang dan hewan atas nama tradisi.”

Fitra Iskandar Reporter
Fitra Iskandar Editor

Tag Terkait

Berita Terkait