Diinisiasi sejak 2008, RUU Perampasan Aset malah terlempar dari daftar Prolegnas prioritas 2025-2029.
Diinisiasi pemerintah dan DPR RI sejak 2008, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tak juga kelar. Saat ini, RUU itu bahkan terlempar dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas untuk periode 2025-2029.
Padahal, eksistensi RUU itu penting di tengah kian besarnya kerugian negara dalam berbagai kasus korupsi yang diungkap aparat penegak hukum. Pada kasus dugaan mark-up impor minyak mentah dan rekayasa muatan BBM di Pertamina periode 2018-2023, misalnya, Kejaksaan Agung memprediksi negara merugi hingga Rp193 triliun per tahun.
Tak tanggung-tanggung, ada tiga petinggi Pertamina yang telah ditetapkan jadi tersangka dalam kasus itu, di antaranya mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan eks Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PIS) Yoki Firnandi.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung juga menggarap kasus korupsi pada tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk. Kerugian negara dalam kasus itu diperkirakan mencapai sekitar Rp300 triliun. Perkara ini menyeret lebih dari 20 orang tersangka, termasuk di antaranya suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan eks Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani.
Kasus megakorupsi yang sangat merugikan negara lainnya adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kerugian negara dihitung mencapai Rp138 triliun. Perkara tersebut dimulai dari krisis moneter 1997 yang mengakibatkan puluhan bank di Indonesia ambruk.