Istrinya, Noor, menghabiskan malam terakhirnya di rumah sakit terdekat karena "gatal berlebihan" di matanya yang berair.
Saat kabut asap beracun menyelimuti ibu kota India, New Delhi, Gola Noor mendorong gerobak kayu berisi sampah dengan tangan kosong untuk membantu suaminya yang batuk, Shahbaz, yang kesulitan mengayuh sepeda.
Di bawah langit yang berkabut, pasangan yang baru berusia 40 tahun itu berangkat pukul 6 pagi setiap hari untuk memungut sampah di daerah-daerah makmur di Delhi. Shahbaz berhenti mengayuh untuk mengambil napas panjang dan terengah-engah. "Kematian ada di udara," katanya, meludah di jalan. "Udara terasa pahit dan batuknya terus-menerus sekarang."
Istrinya, Noor, menghabiskan malam terakhirnya di rumah sakit terdekat karena "gatal berlebihan" di matanya yang berair. Namun, ia kembali bekerja keesokan paginya bersama Shahbaz. "Mati karena kelaparan kedengarannya lebih mengerikan daripada mati perlahan karena sesak napas," katanya kepada Shahbaz, memberi isyarat kepadanya untuk terus mengayuh. "Anda berhenti seolah-olah kita punya pilihan [untuk tidak keluar rumah]."
Selama hampir tiga minggu, ibu kota India telah dibanjiri kabut asap yang mematikan — suatu malam, Indeks Kualitas Udara (AQI) mencapai lebih dari 1.700, lebih dari 17 kali lebih tinggi dari batas yang dapat diterima. Kabut asap tersebut mengandung kadar PM2.5 yang "berbahaya", yaitu partikel berukuran 2,5 mikron atau kurang, yang dapat terbawa ke paru-paru yang menyebabkan penyakit mematikan dan masalah jantung.
Kepala menteri daerah itu menyebutnya sebagai "darurat medis", sekolah-sekolah ditutup, dan jarak pandang di jalan-jalan turun hingga 50 meter (164 kaki). Namun, kisah mengerikan musim dingin di New Delhi kini menjadi kisah yang sudah tidak asing lagi, seperti deja vu bagi penduduk kota itu.