Revisi KUHAP harus mampu menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan bebas dari penyalahgunaan wewenang.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hinca Panjaitan, menegaskan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus mampu menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan bebas dari penyalahgunaan wewenang. Salah satu poin krusial yang menjadi perhatian adalah perlunya pengawasan ketat terhadap kekuasaan aparat penegak hukum dalam setiap tahapan proses hukum.
“Kami ingin memastikan mulai dari tahap penyelidikan hingga eksekusi, ada kontrol yang jelas. Jangan sampai aparat yang diberi kewenangan justru menyalahgunakan kekuasaan. Power yang tidak dikontrol bisa menjadi abuse of power,” kata Hinca di Kompleks Parlemen, Senin (24/3).
Ia mencontohkan kasus Farel, seorang anak yang nekat ingin menjual ginjalnya demi biaya pengobatan sang ibu. Menurutnya, kasus semacam ini tidak seharusnya tidak terjadi jika sistem peradilan pidana memiliki mekanisme yang lebih bijaksana dalam menangani laporan-laporan hukum.
“Di tahun 1981, mungkin banyak hal yang belum dipikirkan saat KUHAP pertama kali disusun. Sekarang kita melihat ada ruang-ruang gelap yang bisa merugikan masyarakat. Misalnya, jangan sampai laporan masuk begitu saja langsung berujung penetapan tersangka tanpa ada pengawasan yang memadai,” tegasnya.
Hinca mengusulkan beberapa perbaikan mendasar, seperti kewajiban adanya pendampingan advokat sejak tahap penyelidikan bagi saksi, guna mencegah perubahan status saksi menjadi tersangka secara sewenang-wenang. Selain itu, ia juga mengusulkan pemasangan kamera pengawas di ruang pemeriksaan agar transparansi dapat terjaga.