Konteks sejarah dan politik saat ini sangat berbeda dari masa Orde Baru.
Dalam dinamika demokrasi, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah dan sehat. Namun, penting bagi masyarakat untuk memahami revisi Undang-Undang (UU) TNI yang baru saja disahkan tidak serta-merta menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI seperti yang terjadi di masa lalu.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian HAM, Munafrizal Manan, menegaskan konteks sejarah dan politik saat ini sangat berbeda dari masa Orde Baru.
“Prasyarat politik yang memungkinkan kembalinya Dwifungsi ABRI seperti dulu sudah tidak ada. Sekarang, kekuatan politik tidak lagi tersentralisasi, melainkan tersebar dalam sistem multipartai, dengan lembaga negara yang independen, pers yang bebas, serta masyarakat sipil yang kritis,” ungkap Munafrizal dalam keterangan, Kamis (20/3).
Konteks sejarah yang berbeda
Dulu, Dwifungsi ABRI didukung oleh sistem politik yang monolitik, di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan negara, tetapi juga dalam politik praktis. Saat itu, UU memberikan wewenang bagi presiden untuk mengangkat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari unsur ABRI tanpa melalui pemilu. Kini, dengan amandemen UUD 1945, sistem demokrasi yang lebih terbuka, serta lembaga-lembaga pengawas yang kuat seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, ruang bagi militer untuk kembali ke ranah politik sudah tertutup.