MK terkesan tak lagi jadi alat politik penguasa sebagaimana era Anwar Usman.
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan progresif. Pekan lalu, MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam putusannya, MK menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20%.
Pasal itu sebelumnya rutin digugat, baik oleh mahasiswa, partai politik, maupun kelompok masyarakat. Setidaknya sudah ada 36 kali gugatan yang dilayangkan ke MK terhadap pasal tersebut. Namun, baru pada era Suhartoyo, MK berani mengubah substansi pasal keramat tersebut.
Dengan dihapusnya ambang batas pencalonan presiden, maka semua parpol peserta pemilu berhak mencalonkan kandidat presiden pada Pilpres 2029. Kandidasi para calon presiden tak lagi dikuasai parpol-parpol besar dalam skema koalisi.
Putusan progresif lainnya dikeluarkan Suhartoyo dan kawan-kawan jelang pendaftaran calon di Pilkada Serentak 2024. Ketika itu, MK mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU/XII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Dengan memangkas syarat kursi DPRD untuk pencalonan kepala daerah, MK membuka peluang bagi parpol untuk mencalonkan sendiri kader mereka di Pilkada Serentak 2024. Di DKI Jakarta, misalnya, PDI-Perjuangan bisa mengusung Pramono Anung-Rano Karno (Pramono-Rano) dan akhirnya memenangi Pilgub DKI.