Hakim tersebut mengatakan bagian 81 konstitusi Zimbabwe menetapkan bahwa setiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi seksual.
Selama ini undang-undang Zimbabwe tidak membenarkan aborsi bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun dan perempuan yang sudah menikah yang menjadi korban pemerkosaan dalam pernikahan. Namun, situasi ini akan berubah setelah Pengadilan Tinggi Harare menyatakan dalam sebuah putusan penting untuk membatalkan undang-undang tersebut.
Zimbabwe memiliki undang-undang aborsi yang ketat. Undang-Undang Penghentian Kehamilan hanya mengizinkan aborsi dalam tiga situasi: ketika kelanjutan kehamilan membahayakan nyawa perempuan yang bersangkutan; ketika ada risiko serius bahwa anak yang akan dilahirkan akan menderita cacat fisik atau mental permanen atau ketika anak tersebut dikandung melalui pemerkosaan selain pemerkosaan dalam pernikahan.
Hakim Maxwell Takuva, dalam putusannya pada tanggal 22 November, menyatakan pasal 2(1) Undang-Undang Penghentian Kehamilan [Bab 15:10] itu “inkonstitusional dan tidak sah.”
“Menurut pandangan saya, martabat anak remaja yang dihamili, martabat perempuan yang sudah menikah yang diperkosa, dirugikan oleh ketentuan pasal 2(1) Undang-Undang tersebut. Konstitusi Zimbabwe melindungi hak setiap orang atas hak atas martabat yang melekat dalam kehidupan pribadi dan publik mereka dan hak agar martabat tersebut dihormati dan dilindungi. Hak atas martabat adalah hak dasar dan telah disamakan dengan hak untuk hidup," kata Hakim Maxwell Takuva.
“Pasal 2 Undang-Undang tersebut langsung batal sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi," katanya.