Sejak empat bulan diberlakukannya Undang-Undang TPKS, belum ada PP atau Perpres dikeluarkan.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Luluk Nur Hamidah, berharap pemerintah segera membuat aturan turunan atas Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang berupa peraturan pemerintah (PP) dan Perpres. Sebab, empat bulan sejak diberlakukan, belum ada tanda-tanda terbitnya peraturan pemerintah (PP) atau perpres, meskipun aturan turunan itu diberi waktu maksimal selama dua tahun.
"Mestinya saat pembahasan UU itu pemerintah sebenarnya sudah paham. Mestinya pemerintah bisa menyiapkan PP atau perpres yang menjadi satu paket dengan UU. Masyarakat berhak untuk mengawal PP dan perpres supaya segera mungkin terbit supaya menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dan hakim," kata Luluk dalam keterangannya, Kamis (4/8).
Selain itu, Luluk berharap aparat penegak hukum selain bisa menangkap dan menetapkan tersangka kepada pelaku TPKS, juga bisa memenuhi hak-hak lain korban. Hak-hak korban tersebut di antaranya seperti pemulihan psikologis, restitusi serta denda bagi pelaku, dan kebutuhan lainnya yang bisa diasesmen oleh pendamping korban.
"Setelah aparat penegak hukum menangkap dan menetapkan tersangka, maka secepatnya hak-hak korban juga dipenuhi. Seperti pemulihan psikologis, restitusi serta denda bagi pelaku, dan kebutuhan lainnya. Dalam penanganan kasus kekerasan seksual itu segera mungkin menggunakan UU TPKS karena segala prosedur dan mekaniske ketika ada hambatan dalam penanganan bisa diatasi dengan cepat. Misalnya terkait bukti, korban itu bisa menjadi saksi atas dirinya," kata politikus PKB tersebut.
Luluk yang ikut membahas RUU TPKS menjelaskan, denda dan restitusi berdasarkan Undang-Undang TPKS itu berbeda. Dia menjelaskan, denda itu dibebankan kepada pelaku terkait dengan hak korban yang dirugikan.
Untuk pidana yang ancaman hukumannya 15 tahun dendanya bisa sampai senilai Rp1 miliar.
"Kalau denda itu tidak bisa dibayarkan oleh pelaku, maka bisa diganti dengan hukuman penjara," katanya.
Sedangkan restitusi, lanjit dia, nilainya didasarkan pada jenis kejahatan yang dilakukan, lamanya ancaman pidana, dan kondisi ekonomi pelakunya. Luluk mengatakan, yang menilai dan menetapkan restitusi itu adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan pengadilan.