Tidak efisien, menghabiskan anggaran, hasrat kekuasan dan hanya sebagai kompromi transaksional antar fraksi.
Jumlah kursi MPR akhirnya bertambah dari lima menjadi sepuluh setelah DPR menyetujui perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Penambahan itu diputuskan dalam rapat pripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9) kemarin.
Wakil Ketua Baleg DPR Totok Daryanto dalam laporannya mengatakan, pengaturan mengenai pimpinan MPR berguna untuk mewujudkan lembaga yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi.
Namun Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formmapi) Lucius Karus justru menilai pengesahan UU MD3 justru menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Alih-alih menguatkan kelembagaan, penambahan jumlah kursi MPR hanyalah bentuk politik transaksional untuk mengakomodasi kepentingan DPR di Senayan.
"Cita-cita penguatan kelembagaan menjadi sirna ketika dengan sesuka hati DPR utak-atik aturan UU yang ada. Unsur kepastian hukum dengan adanya regulasi yang berkualitas dan berlaku cukup lama tak bisa dibangun," ujar Lucius saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Selasa (17/9).
Menurut Lucius, penambahan kursi MPR sangat tidak efisien dan menghabiskan anggaran semata. Alasan DPR menambahan kursi MPR demi semangat kebangsaan hanya manipulasi politik.