Sistem demokrasi langsung memilih orang itu sudah benar. Itu auratnya demokrasi. Aurat itu harus dijaga.
Perdebatan mengenai sistem pemilihan umum masih menuai pro-kontra di masyarakat. Ada plus dan minus dari masing-masing sistem, baik sistem proporsional tertutup maupun terbuka.
Dalam diskusi yang digelar Moya Institute bertajuk “Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi”, Jumat (20/1/2023), mengemuka sejumlah argumentasi pro maupun kontra terhadap sistem pemilu. Politikus reformasi sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, misalnya, dengan tegas menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Menurut Fahri, sistem proporsional terbuka yang dipakai dalam beberapa pemilu terakhir sudah tepat.
“Sistem demokrasi langsung memilih orang itu sudah benar. Itu auratnya demokrasi. Aurat itu harus dijaga, jangan malah yang tidak penting ditutup,” ujar Fahri.
Fahri beranggapan, bila pada Pemilu 2024 Indonesia kembali menerapkan sistem proporsional tertutup, maka akuntabilitas politik akan rusak. Sebab menurut Fahri, transaksi politik antara rakyat dan pemimpin harus dilakukan secara langsung, tidak melalui perantara partai politik. “Mandataris hanya bisa muncul kalau pemberi dan penerimanya bisa saling berhubungan langsung,” ujarnya.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Chudry Sitompul berpendapat, pasal-pasal konstitusi tidak banyak menyinggung mengenai pemilu, sehingga muncul kesan persoalan tersebut dilepaskan kepada parlemen dan undang-undang. Sehingga pemilu terkesan hanya berkaitan erat dengan kepentingan partai politik. “Sebenarnya UUD 1945 tidak juga nenyentuh partai politik. Tetapi dalam ilmu politik dan praktiknya, nyatanya partai politik itu penting,” ujar Chudry.