Apabila hak memilih dan dipilih napi dicabut, maka melanggar teori universal suffrage dalam pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi.
Polemik pelarangan narapidana menjadi calon legislator mendapat kritik dari akademisi. Salah satunya berasal dari Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono yang menyebut tidak tepat adanya larangan napi menjadi calon legistatif (caleg).
Teguh menjelaskan, baiknya larangan narapidana menjadi calon legislator tidak boleh menggeneralisasi atau menganggap semuanya sebagai napi. Ia justru mempertanyakan apa makna lembaga pemasyarakatan kalau napi karena kasus ringan, kemudian pernah menjalani hukuman, lantas kehilangan hak dan kewajiban politiknya, yakni dipilih dan memilih.
Alumnus Flinders University Australia mengingatkan bahwa napi adalah warga negara yang punya hak universal suffrage atau hak pilih universal. Kecuali hak tersebut dicabut oleh pengadilan.
"Yang dilarang harusnya napi koruptor dan napi kriminal berat dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun," tukas Teguh pada Kamis (5/4) seperti dikutip Antara.
Makanya, kata Teguh tidak bisa hak memilih dan dipilih napi dicabut semua. Itu melanggar teori universal suffrage dalam pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi. Dalam teori politik, lanjut dia, tidak dikenal demokrasi kriminal. Pasalnya, demokrasi itu positif, tidak bisa digabungkan dengan istilah negatif.