Penghentian pembahasan RUU Pemilu refleksi dari kepentingan parpol.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai batalnya pembahasan Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) merupakan refleksi adanya kepentingan sejumlah partai politik.
Kepentingan yang dimaksud Titi bisa berupa ambang batas parlemen atau parliamentary Threshold (PT) tidak dinaikkan, dan tidak berlaku di tingkat kabupaten, kota atau provinsi, hingga besaran dapil dan alokasi tidak diperkecil.
"Itu merupakan aspirasi atau refleksi kepentingan dari partai menengah-kecil. Tetapi di saat yang sama, juga bertemu dengan kepentingan partai yang tidak mau ada perubahan terhadap ambang batas pencalonan presiden. Nah, di saat yang sama juga ada kepentingan dari pemerintah untuk tidak mengubah penjadwalan Pilkada 2024," terang Titi, dalam webinar bertajuk "Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Indonesia?", Kamis (11/2).
Ketika kepentingan itu bertemu, kata Titi, kompromi yang timbul ialah pembahasan RUU Pemilu tidak berlanjut. Dia menilai, ada konsekuensi yang muncul akibat tidak dilanjutkan RUU Pemilu, seperti kompleksitas, dan potensi problem teknis yang akan dihadapi ketika tata kelola elektoral tidak diperbaiki. Hal itu, sambung Titi, dapat tercermin saat Pemilu 2019.
"Saya tetap berharap, pembuat UU kita menetapkan prioritas hak pilih warga negara yang berkualitas, pemilih yang bisa memilih dengan cerdas, pemilih yang kemudian tahu betul dari konsekuensi pemilihannya, tetapi di saat yang sama, penyelenggara pemilu juga bisa bekerja secara manusiawi," paparnya.