Batasan antara kritik dan penghinaan tak dijabarkan secara jelas dalam UU MD3 dan RKUHP.
Ruang kritik terhadap DPR semakin menyempit setelah rapat paripurna kemarin menyepakati revisi UU MD3 menjadi UU. Salah satu poin yang turut disahkan ialah ketentuan Pasal 122 huruf k yang berbunyi, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut ada keanehan dalam pasal itu, yakni munculnya perluasan wewenang MKD untuk memproses entitas di luar anggota DPR. Padahal, kewenangan MKD kata dia adalah mengurus etika anggota dewan.
“Ada keanehan jika dikasih wewenang memproses hukum di luar DPR. Semula hanya berwenang persoalan etika anggota, tapi diperluas mengurus etika publik,” terang Lucius saat berbincang dengan Alinea, Selasa (13/2).
Pasal 122 huruf k juga dianggap rentan untuk membungkam sikap kritis publik. Apalagi, tak disebutkan detail apa saja yang dikategorikan merendahkan martabat DPR. Lucius pun mengindikasikan adanya tendensi pembajakan demokrasi sekaligus kecenderungan otoritarian.
“Semakin kelihatan arus utamanya, baik legislatif dan eksekutif,” sambungnya.