Penyelenggaraan pemilu serentak diwarnai dengan pelbagai noda yang mencederai demokrasi dewasa ini.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama delapan tahun terakhir, terdapat 242 kepala daerah yang terseret dalam pusaran korupsi. Lebih rinci aktivis ICW Donal Fariz menyebutkan, dalam rentang Januari hingga Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjaring delapan kepala daerah. Sebanyak lima tersangka di antaranya diketahui mencalonkan kembali pada gelaran pilkada 2018.
Dia turut meyayangkan hal ini, apalagi belakangan muncul upaya intervensi sejumlah tangan dalam kerja KPK. Yang teranyar, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhumkam) Wiranto meminta KPK menunda pengusutan kasus korupsi, dengan dalih mengurangi kegaduhan politik. Fariz menilai jika usul Wiranto diamini, maka ini menjadi indikasi kemunduran negara dalam memastikan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Lebih lanjut, itu mampu mencederai demokrasi rakyat.
Untuk itu, begitu KPK memutuskan tetap melanjutkan proses hukum, Fariz sangat mendukungnya. Apalagi, penindakan terhadap kepala daerah yang terjerat korupsi, menegaskan hubungan sebab akibat dengan upaya pemenangan pilkada 2018.
Pasalnya, kasus yang melibatkan calon kepala daerah ini disebut-sebut guna mendanai pilkada yang berbiaya tinggi. Ongkos politik yang mahal tersebut, umumnya terletak pada pengeluaran ilegal seperti mahar politik, jual beli suara, suap penyelenggara, serta biaya lain berupa pendanaan saksi.
Merujuk pada mahalnya biaya politik yang melahirkan korupsi berjamaah kader parpol dan calon kepala daerah, ICW menaruh harapan besar pada penyelenggara pemilu. Namun sayangnya, integritas penyelenggara pemilu justru dipertanyakan akhir-akhir ini.