Kemunculan poros ketiga menarik, karena menawarkan calon alternatif dan mencegah konflik seperti pembelahan sosial dan politik.
Pertarungan pemilihan calon presiden dan wakil presiden mendatang, nampaknya akan terasa biasa jika hanya menampilkan dua pasangan calon (paslon). Selain itu, potensi perpecahan publik juga dikhawatirkan akan mewarnai pelaksanaan hajatan akbar tersebut. Apalagi jika calon yang maju sama dengan pilpres 2014 lalu.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, kemunculan poros ketiga akan menarik. Sebab, itu tidak hanya sekadar menawarkan calon alternatif, tetapi juga mencegah terjadinya konflik seperti pembelahan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat, lantaran hanya ada Jokowi dan Prabowo saja.
Poros ketiga ini bisa terbentuk jika koalisi partai bisa memenuhi ambang batas pencalonan presiden yaitu minimal 20%. Melihat perolehan kursi di Senayan, maka kunci keberhasilan poros ketiga di pilpres 2019 terletak pada Partai Demokrat. Partai besutan SBY ini telah mengantongi perolehan kursi sebanyak 61 atau setara dengan 10,19% suara nasional. Demokrat bisa bergabung dengan PAN dan PKB untuk membentuk poros ketiga ini.
Senada dengan Haris, peneliti Kode Inisiatif Veri Junaidi memaparkan, kemunculan poros ketiga sangat mungkin terjadi. Syaratnya, Partai Demokrat tidak bergabung dengan salah satu poros yang terbentuk.
"Seandainya Demokrat tidak bergabung ke dalam salah satu poros, tentunya sangat memungkinkan hadirnya poros ketiga," katanya.