Kedekatan NU dengan penguasa sudah berlangsung sejak lama, persisnya zaman Presiden Sukarno.
Rumor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ditarik-tarik ke gelanggang politik praktis untuk memenangkan pasangan calon (paslon) nomor 2 pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, membuat tokoh dan aktivis UN geram. Pangkalnya, dinilai bertentangan dengan khitah organisasi.
Jaringan Nahdliyin Pengawal Khittah (JNPK) NU mengakui, politik adalah bagian dari tujuan NU sebagai jamiah. Artinya, tidak mungkin dan nirfaedah memisahkan urusan politik dari NU. Namun, harus dikelola demi kemaslahatan umum, bukan mendukung kekuasaan atau kandidat tertentu.
"Dalam hal ini, NU harus menjaga kemandirian politik dan kemandirian ekonomi agar perkembangan dan inovasi di jamiah ini tidak tergantung pada uluran tangan penguasa," kata penggagas JNPK NU, Abdul Ghafar Karim, dalam keterangannya, Kamis (25/1).
Ia melanjutkan, khitah, di mana NU bukanlah partai politik (parpol) maupun organisasi sayapnya (underbow), merupakan rujuk moral dan formal tindakan politik NU. Pun menjadi bagian dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi.
"Karena bukan partai politik dan bukan underbow partai politik, maka NU tidak boleh digunakan sebagai alat pemenangan kandidat presiden dalam pilpres," tegasnya. "Penyelenggaraan NU tidak boleh menyimpang dari Khitah NU."