Cak Nur memandang umat Islam berada dalam kejumudan dan memiliki halangan berupa ketiadaan kebebasan berpikir.
Tiga belas tahun silam, Senin (29/8) Nurcholis Madjid mangkat. Kematiannya dengan segera menjadi duka bagi keluarga dan para pengagum gaya pikir modernisme dan sekularisme yang ia kenalkan. Sebaliknya, bagi kelompok yang kontra pun, ia akan dikenang sebagai sosok vokal, yang tak gentar membuka mimbar.
Alumni sekolah doktoral filsafat Universitas Chicago, Amerika Serikat ini pernah adu urat dengan Amien Rais dan Muhammad Roem. Kala itu, ia kukuh menihilkan konsep negara Islam. Sebab, baginya pendidikan Islam tak mengajarkan secara mutlak pembentukan negara Islam itu sendiri.
Sama seperti Gus Dur, pria yang biasa disapa Cak Nur meneguhkan identitasnya sebagai salah satu pembaharu Islam di Indonesia. Ia dicintai tapi juga memiliki banyak pembenci. Sejak menjadi ketua PBHMI hingga akhir hayatnya, Cak Nur memang tak henti-hentinya meniupkan semangat pembaharuan Islam yang kerap kali berujung pada kontroversi.
Hidup Cak Nur mencerminkan pergulatan panjang pemikiran seorang muslim dari santri Gontor menjadi seorang pembaharu Islam. Di Gontor itulah pemikiran Cak Nur perlahan mulai terbentuk.
Pada 1970, Cak Nur menerbitkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang memicu perdebatan antara umat Islam. Dalam makalahnya, Cak Nur memandang umat Islam berada dalam kejumudan dan memiliki halangan berupa ketiadaan kebebasan berpikir.