Di Indonesia, mahar berkembang ke arah buruk lantaran ketiadaan sistem pertanggungjawaban organisasi.
Pembuktian dugaan praktik mahar politik yang belum lama ini didengungkan beberapa kalangan, urung menemui jalan terang. Puncaknya, saat Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan bahwa penyelidikan beberapa kasus dihentikan. Alasannya, para pelapor dinilai Bawaslu tidak kooperatif memberikan bukti maupun keterangan resmi.
Mahar politik bukan hal baru dalam peta perpolitikan Indonesia. Dalam buku ‘Politik Uang di Indonesia’ (2015) yang diedit Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, praktik ini adalah bagian konsekuensi logis dari pelanggengan kekuasaan di era demokrasi baru.
“Hampir semua parpol melakukan hal sama, kalau tak ingin hegemoninya di lingkaran kekuasaan tergeser,” tegas dosen Ilmu Komunikasi UGM, Dodi Ambardi saat berbincang dengan Alinea, Jumat (2/2).
Menurut Dodi, fenomena itu lahir akibat tak ada sumber dana memadai untuk membiayai kegiatan parpol, mulai biaya kantor, personalia, kampanye, dan biaya tak terduga lainnya.
“Belum lagi, tak ada kasus parpol yang mampu menarik iuran dari anggota, sebagaimana parpol di Eropa,” jelasnya.